Popular Post

Agar hati Cinta Pada Al - Qur'an

By : zends


اللَّهُمَّ إِنِّى عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِيْ وَنُورَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ


Maka kita berdoa, memohon pada Allah, agar membuat hati ini cinta pada Al Qur’an.

اللَّهُمَّ إِنِّى عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِيْ وَنُورَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ
“Ya Allah, sesungguhnya aku ini adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu (laki-laki), anak dari hamba-Mu (perempuan). Ubun-ubunku berada di tangan-Mu, takdir-Mu berlaku atasku, dan ketetapan-Mu adalah adli. Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang menjadi milik-Mu, Nama yang Engkau lekatkan sendiri untuk diri-mu, atau yang Engkau sebutkan dalam Kitab-mu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang diantara hamba-Mu (Nabi), atau yang Engkau sembunyikan di alam keghaiban-Mu; hendaknya Engkau menjadikan Al-Qur’an ini sebagai penyejuk hatiku, cahaya dalam dadaku, penghilang kesedihanku, dan penolak rasa gundahku.”
- See more at: http://www.arrahmah.com/rubrik/doa-agar-hati-cinta-pada-al-quran.html#sthash.pYDJDmHJ.dpuf
Maka kita berdoa, memohon pada Allah, agar membuat hati ini cinta pada Al Qur’an.

اللَّهُمَّ إِنِّى عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِيْ وَنُورَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ
“Ya Allah, sesungguhnya aku ini adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu (laki-laki), anak dari hamba-Mu (perempuan). Ubun-ubunku berada di tangan-Mu, takdir-Mu berlaku atasku, dan ketetapan-Mu adalah adli. Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang menjadi milik-Mu, Nama yang Engkau lekatkan sendiri untuk diri-mu, atau yang Engkau sebutkan dalam Kitab-mu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang diantara hamba-Mu (Nabi), atau yang Engkau sembunyikan di alam keghaiban-Mu; hendaknya Engkau menjadikan Al-Qur’an ini sebagai penyejuk hatiku, cahaya dalam dadaku, penghilang kesedihanku, dan penolak rasa gundahku.”
- See more at: http://www.arrahmah.com/rubrik/doa-agar-hati-cinta-pada-al-quran.html#sthash.pYDJDmHJ.dpuf
“Ya Allah, sesungguhnya aku ini adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu (laki-laki), anak dari hamba-Mu (perempuan). Ubun-ubunku berada di tangan-Mu, takdir-Mu berlaku atasku, dan ketetapan-Mu adalah adli. Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang menjadi milik-Mu, Nama yang Engkau lekatkan sendiri untuk diri-mu, atau yang Engkau sebutkan dalam Kitab-mu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang diantara hamba-Mu (Nabi), atau yang Engkau sembunyikan di alam keghaiban-Mu; hendaknya Engkau menjadikan Al-Qur’an ini sebagai penyejuk hatiku, cahaya dalam dadaku, penghilang kesedihanku, dan penolak rasa gundahku.”

( Diambil dari sebuah hadits yang shahih, dari riwayat Ibnu Hibban / Jembatan Ilmu.)

Tag : , ,

Mengapa kita harus Bertawakal ?

By : zends


     Tawakkal adalah suatu maqam (kedudukan) dari maqam orang-orang yang yakin dan juga termasuk derajat yang tinggi dari orang-orang yang muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah). Ia merupakan buah dari sebuah tauhid dan iman yang benar. Tingkatan ini tidak akan diperoleh, kecuali oleh orang yang beriman dan berkeyakinan teguh.
Tawakkal kepada Allah adalah bentuk penyerahan total hanya kepada-Nya, bersandar kepada Allah dan kepada pertolongan-Nya, dengan berkeyakinan bahwa takdir Allah mesti berlaku dan tidak dapat ditolak. Akan tetapi dengan tidak meninggalkan ikhtiar dan mencari apa-apa yang menjadi keperluan hidup, serta mengadakan persiapan dan berjaga-jaga dari tipu-daya musuh sebagaimana yang telah dilakukan oleh para nabi dan Rasul-Nya.
Tawakkal kepada Allah juga berarti meyakini bahwa apa yang ada di tangan Allah lebih baik dari yang ada dalam genggaman manusia. Hal ini berdasarkan hadits,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُوْنَ أَغْنَى النَّاسِ فَلْيَكُنْ بِمَا عِنْدَ اللهِ أَوْسَقَ مِنْهُ بِمَا فِيْ يَدِيْهِ.
artinya, “Siapa yang merasa suka bahwa ia menjadi manusia terkaya, maka hendaklah ia meyakini apa yang ada pada Allah, daripada apa yang ada dalam tangannya.” (HR. Al-Hakim dan Baihaqi)
Kita dapat mengukur diri kita sampai sejauh mana tingkatan tawakkal kita kepada Allah Ta’ala. Sementara batasan antara iman dan tawakkal amatlah tipis, artinya keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Bukti kebenaran tawakkal seseorang dapat dilihat atau dirasakan bilamana ia sedang berhadapan dengan persoalan yang membuatnya sulit, diantaranya adalah:
a.  Saat menghadapi musibah
     Ketika Rasulullah menghadapi perlakuan kejam dari bani Tsaqif di Thaif, beliau langsung menuju ke suatu tempat yang rindang di bawah pohon untuk beristirahat. Beliau saw lalu berdo’a meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala karena merasa tidak mampu melaksanakan tugas dakwah seberat dalam menghadapi kaum tersebut bila tidak mendapat pertolongan–Nya. Maka beliau saw pun memanjatkan do’a seraya merendahkan diri kepada Allah Ta’ala, “Ya Allah, kepada Engkaulah aku mengadu akan kelemahan kekuatanku, kekurangan kemampuanku dalam menghadapi orang banyak…” dan seterusnya. Maka do’a tersebut diijabah Allah Ta’ala dengan mengutus dua malaikat penjaga gunung untuk meminta persetujuan Rasulullah agar menimpakan gunung tersebut diatas mereka yang telah menganiaya Rasulullah. Namun Rasulullah menjawab, “Tidak, akan tetapi yang kuharapkan adalah agar Allah membangkitkan satu generasi dari mereka yang kelak menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.”  (Kitab Islaamuna, Sayyid Sabiq)
Demikianlah perangai Rasulullah ketika ditimpa musibah berupa kezaliman dari kaumnya, beliau saw hanya mengeluh dan bersandarkan kepada Allah semata.
Begitu juga dengan apa yang terjadi terhadap nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika dilemparkan ke dalam api oleh kaumnya, beliau lantang mengucapkan,
حَسْبِيَ اللهُ وَ نِعْمَ الْوَكِيْلِ
artinya, “Cukuplah bagiku Allah sebagai pelindung dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.”
b.  Saat menghadapi musuh
     Tatkala Rasulullah dan Abu Bakar ra sedang berada di dalam sebuah goa, tiba-tiba Abu Bakar melihat kaum musyrikin yang mengejar-ngejar mereka berdua. Disaat itu, timbul rasa khawatir dalam diri Abu Bakar dan berkata, “Ya Rasulullah, andaikan salah-seorang dari mereka  mengangkat kakinya, pasti mereka akan melihat kita. Rasulullah lalu menjawab, ”Jangan engkau mengira kita hanya berdua saja, Allah lah yang menyertai kita.” (Al-Jaami’ ash-Shohih, Imam Bukhari)
Kejadian tersebut termaktub dalam ayat-Nya yang berbunyi,
ž”Wahai kaum mukmin, jika kalian tidak mau menolong Rasul, maka Allah telah menolongnya ketika kaum kafir Quraisy mengusirnya dari Makkah. Rasul disertai oleh Abu Bakar, se­hingga menjadi berdua ketika berada di gua Tsur. Wahai kaum mukmin, ingatlah ketika Rasul berkata kepada Abu Bakar: “Janganlah kamu merasa sedih. Allah pasti membela kita.” Wahai kaum mukmin, ingatlah ke­tika perang Badar, Allah menurun­kan ketenangan kepada Rasul dan memperkuat pasukannya dengan tentara-tentara yang tidak kalian lihat. Allah telah menetapkan bahwa agama orang kafir itu hina, sedangkan agama Allah itulah yang mulia. Allah Mahaperkasa mengalahkan orang kafir, dan Mahabijaksana mengatur siasat-Nya.” (QS. at-Taubah, 9:40)
Dan dalam sebuah riwayat dikisahkan,
عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: غَزَوْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم غَزْوَةَ نَجْدٍ فَلَمَّا اَدْرَكَتْهُ الْقَائِلَةُ وَ هُوَ فِيْ وَادٍ كَثِيْرِ الْعِضَاهِ, فَنَزَلَ تَحْتَ شَجَرَةٍ وَاسْتَظَلَ بِهَا وَ عَلَّقَ سَيْفَهُ فَتَفَرَّقَ النَّسُ فِيْ الشَّجَرِ يَسْتَظِلُّوْنَ. وَ بَيْنَا نَحْنُ كَذَلِكَ إِذْ دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ فَجِئْنَا, فَإِذَا أَعْرَابِيٌّ قَاعِدٌ بَيْنَ يَدَيْهِ فَقَالَ: إِنَّ هَذَا أَتَانِيْ وَ أَنَا نَائِمٌ فَاخْتَرَطَ سَيْفِيْ فَاسْتَيْقَظْتُ وَ هُوَ قَائِمٌ عَلَى رَأْسِي مُخْتَرِطٌ صَلْتًا. قَالَ: مَنْ يَمْنَعُكَ مِتِيْ؟ قَلْتُ: اللهُ. فَشَامَعُ ثُمَّ قَعَدَ فَهُوَ هَذَا قَالَ: وَ لَمْ يُعَاقِبْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم.
artinya, ”Dari Jabir bin Abdullah ra, berkata, “Kami bersama Rasulullah dalam perang Najd. Karena merasa aman terlindungi oleh pepohonan, beliau bernaung di bawah sebatang pohon dan menggantungkan pedangnya. Banyak orang juga bertebaran untuk berlindung di bawah pepohonan. Tiba-tiba terdengar Rasulullah memanggil kami, maka setelah kami datang, kami melihat seorang desa (A’raby) sedang duduk di depan Rasulullah. Beliau saw lalu berkata, “Orang ini mendatangi aku ketika aku sedang tertidur, lalu ia memngambil pedangku sehingga aku terbangun. Aku melihatnya sedang mengacungkan pedang itu ke kepalaku dan berkata, “Siapa yang dapat menghindarkan pedang ini dari dirimu?”  “Allah” jawab Rasulullah. Orang itu pun lalu memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya, lalu duduk di depanku, maka itulah orangnya.” Jabir berkata, “Orang itu lalu dibebaskan oleh Rasulullah.” (HR. Bukhari)
Anjuran tawakkal
Allah Ta’ala berfirman,
“Segala yang ghaib di langit dan di bumi hanyalah berada dalam ke­kuasaan Allah. Semua urusan akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, taatlah kepada Allah dan bertawakal­lah kepada-Nya. Tuhan kalian tidak akan melalaikan segala macam per­buatan yang telah kalian lakukan di dunia.” (QS. Hud, 11:123)
“…Siapa saja yang taat kepada Allah dan bertauhid, pasti Allah akan memberikan jalan keluar baginya dari segala kesulitan. Allah akan memberikan rezeki kepada orang mukmin dari arah yang tidak disangka-sangka. Siapa saja yang bertawakal kepada Allah, cukuplah Allah menjadi penjamin orang mukmin. Allah pasti mengabulkan permohonannya. Allah menetapkan apa saja dengan ukuran tertentu.” (QS. at-Thalaq, 65:2-3)
“…Jika kamu telah berketetapan hati, maka pasrahkanlah dirimu kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang pasrah kepada ketetapan Allah.” (QS. Ali ‘Imron, 3:159)
Sementara Rasulullah bersabda,
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَقْوَامٌ أَفِئِدَتُهُمْ مِثْلُ أَفِئِدَةِ الطَّيْرِ.
artinya, “Akan masuk surga, orang yang hati (jiwa) mereka bagaikan hati burung, yang bertawakkal penuh dan yakin akan jaminan Allah atas dirinya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Juga sabdanya,
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرِزَقُ الطَّيْرُ, تَغْدُوْ خِمَاصًا وَ تَرُوْحُ بِطَانًا.
artinya, “Andaikan engkau bertawakkal penuh kepada Allah, niscaya Allah akan memberi rezeki kepadamu, sebagaimana burung-burung yang keluar pada pagi hari dengan perut kosong dan kembali di senja hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah)
  مَنْ قَالَ (يَعْنِيْ إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ): بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ لاَ حَوْلَ وَ لاَ قَوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ, يَقَالُ لَهُ: كُفِيْتَ وَ وُقِيْتَ  وَ تَنَحَّى عَنْهُ الشَّيْطَانُ.
artinya, “Barangsiapa yang membaca do’a ketika keluar dari rumahnya: “Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan-Nya”, maka Allah menyambutnya dengan kata-kata: “Engkau telah mendapat daya dan kecukupan dunia-akhiratmu dan terpeliharalah jauh dari setan.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)
Berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas, maka orang-orang yang bertaqwa dan bertawakkal akan mendapat jaminan Allah, antara lain berupa:
1. Diberi kelapangan dan kemudahan dalam menghadapi segala persoalan dan problem hidup. Allah Ta’ala tidak akan membiarkannya berada dalam kesempitan dan kesusahan yang berketerusan, melainkan pasti Allah Ta’ala akan menolong dan memudahkan setelah kesulitan tersebut.
2.  Allah Ta’ala akan memberikan rezeki dari arah yang tiada ia sangka dan tidak ia ketahui. Persoalan rezeki memang ada hubungannya dengan masalah taqdir, sebagaimana firman-Nya,
 ”Allah yang melapangkan atau me­nyempitkan rezeki para hamba-Nya sesuai kehendak-Nya. Sungguh Allah Maha Mengetahui semua kebutuhan manusia.” (QS. al-Ankabut, 29:62)
Tetapi taqdir tersebut tidak terjadi begitu saja, melainkan ia terkait erat dengan ikhtiar manusia itu sendiri. Allah Ta’ala berfirman,
“Setiap manusia hanyalah men­dapatkan pahala sesuai dengan amal shalih yang dilakukannya sendiri.”(QS. an-Najm, 53:39)
Apabila seorang hamba telah berusaha sekuat tenaga dan meyakini bahwa Allah Ta’ala lah Pemberi rezeki yang terbaik, maka pasti Allah akan memberinya sama dengan hasil jerih-payahnya itu dari arah yang tidak pernah ia perkirakan sebelumnya.
3.  Allah Ta’ala akan mencukupkan keperluannya, artinya Allah Ta’ala akan memberikan rezeki sesuai dengan keperluan masing-masing hamba-Nya dan bukan menurut permintaan atau keinginan hamba tersebut.
Ya ikhwani wa akhwatifillah, kelapangan dan kesempitan rezeki adalah termasuk ujian Allah Ta’ala. Ia menguji perwatakan manusia; apakah mau bersyukur bila diberi kelapangan atau apakah tetap bersabar bila diuji dengan kesempitan. Memang sudah dilazimi bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk tidak merasa puas dan cukup atas apa yang ada padanya, namun seseorang yang memiliki kesholihan tentu akan merasa tercukupi dengan apa yang sudah Allah Ta’ala karuniakan kepada dirinya.
Mudah-mudahan kita menjadi hamba-hamba-Nya yang shobbarin syakur, senantiasa bersabar lagi tetap bersyukur kepada-Nya. Insyaa Allah… Semoga bermanfaat.
( Dirujuk dari buku laris Karakteristik Lelaki Sholeh (Rojulun Sholih) karya Ustadz Abu Muhammad Jibriel AR )

Tag : , ,

Tujuan Membaca dan Memahami Al - Qur'an

By : zends


      Kita sebagai orang muslim di dunia ini, tidak pernah bisa melihat Allah. Lalu bagaimana kita bisa mengetahui bahwa Allah memang ada dan tidak ada sekutu bagi-Nya? Dan bagaimana kita bisa mengenal-Nya?

Memang, Allah telah menetapkan bahwa kita tidak akan bisa melihat-Nya di dunia ini, namun Allah telah menampakkan kepada kita ayat-ayat-Nya. Kemudian, Allah telah menganugerahkan kepada kita akal pikiran dan hati agar kita bisa memahami ayat-ayat-Nya.

Allah telah menyediakan untuk kita dua jenis ayat. Yang pertama, ayat qauliyah, yaitu ayat-ayat yang Allah firmankan dalam kitab-kitab-Nya. Al-Qur’an adalah ayat qauliyah. Yang kedua, ayat kauniyah, yaitu ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya. Ayat-ayat ini meliputi segala macam ciptaan Allah, baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos). Bahkan diri kita baik secara fisik maupun psikis juga merupakan ayat kauniyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam QS Fushshilat ayat 53:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Hubungan antara Ayat Qauliyah dan Ayat Kauniyah

     Antara ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah terdapat hubungan yang sangat erat karena keduanya sama-sama berasal dari Allah. Kalau kita memperhatikan ayat qauliyah, yakni Al-Qur’an, kita akan mendapati sekian banyak perintah dan anjuran untuk memperhatikan ayat-ayat kauniyah. Salah satu diantara sekian banyak perintah tersebut adalah firman Allah dalam QS Adz-Dzariyat ayat 20-21:

“Dan di bumi terdapat ayat-ayat (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”

Dalam ayat diatas, jelas-jelas Allah mengajukan sebuah kalimat retoris: “Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” Kalimat yang bernada bertanya ini tidak lain adalah perintah agar kita memperhatikan ayat-ayat-Nya yang berupa segala yang ada di bumi dan juga yang ada pada diri kita masing-masing. Inilah ayat-ayat Allah dalam bentuk alam semesta (ath-thabi’ah, nature).

Dalam QS Yusuf ayat 109, Allah berfirman: “Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka?”

Ini juga perintah dari Allah agar kita memperhatikan jenis lain dari ayat-ayat kauniyah, yaitu sejarah dan ihwal manusia (at-tarikh wal-basyariyah).

Disamping itu, sebagian diantara ayat-ayat kauniyah juga tidak jarang disebutkan secara eksplisit dalam ayat qauliyah, yakni Al-Qur’an. Tidak jarang dalam Al-Qur’an Allah memaparkan proses penciptaan manusia, proses penciptaan alam semesta, keadaan langit, bumi, gunung-gunung, laut, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Bahkan ketika para ilmuwan menyelidiki dengan seksama paparan dalam ayat-ayat tersebut, mereka terkesima dan takjub bukan kepalang karena menemukan keajaiban ilmiah pada ayat-ayat tersebut, sementara Al-Qur’an diturunkan beberapa ratus tahun yang lalu, dimana belum pernah ada penelitian-penelitian ilmiah.

Karena itu, tidak hanya ayat-ayat qauliyah yang menguatkan ayat-ayat kauniyah. Sebaliknya, ayat-ayat kauniyah juga senantiasa menguatkan ayat-ayat qauliyah. Adanya penemuan-penemuan ilmiah yang menegaskan kemukjizatan ilmiah pada Al-Qur’an tidak diragukan lagi merupakan bentuk penguatan ayat-ayat kauniyah terhadap kebenaran ayat-ayat qauliyah.

Kewajiban Kita terhadap Al - Qur'an


     Setelah kita mengetahui bentuk ayat-ayat Allah, yang menjadi penting untuk dipertanyakan adalah apa yang harus kita lakukan terhadap ayat-ayat tersebut. Atau dengan kata lain, apa kewajiban kita terhadap ayat-ayat tersebut? Dan jawabannya ternyata hanya satu kata: iqra’ (bacalah), dan inilah perintah yang pertama kali Allah turunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq: 1-5)

Lalu bagaimana kita membaca ayat-ayat Allah? Jawabannya ada pada dua kata: tadabbur dan tafakkur.

Terhadap ayat-ayat qauliyah, kewajiban kita adalah tadabbur, yakni membacanya dan berusaha untuk memahami dan merenungi makna dan kandungannya. Sedangkan terhadap ayat-ayat kauniyah, kewajiban kita adalah tafakkur, yakni memperhatikan, merenungi, dan mempelajarinya dengan seksama. Dan untuk melakukan dua kewajiban tersebut, kita menggunakan akal pikiran dan hati yang telah Allah karuniakan kepada kita.

Mengenai kewajiban tadabbur, Allah memberikan peringatan yang sangat keras kepada orang yang lalai melakukannya. Allah berfirman dalam QS Muhammad ayat 24: “Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”

Dan mengenai kewajiban tafakkur, Allah menjadikannya sebagai salah satu sifat orang-orang yang berakal (ulul albab). Dalam QS Ali ‘Imran ayat 190 – 191, Allah berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka mentafakkuri (memikirkan) tentang penciptaan langit dan bumi (lalu berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Tujuan Membaca Al - Qur'an

     Tujuan utama dan pertama kita membaca ayat-ayat Allah adalah agar kita semakin mengenal Allah (ma’rifatullah). Dan ketika kita telah mengenal Allah dengan baik, secara otomatis kita akan semakin takut, semakin beriman, dan semakin bertakwa kepada-Nya. Karena itu, indikasi bahwa kita telah membaca ayat-ayat Allah dengan baik adalah meningkatnya keimanan, ketakwaan, dan rasa takut kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Yang semestinya terjadi pada diri kita setelah kita membaca ayat-ayat qauliyah adalah sebagaimana firman Allah berikut ini: “Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS Al-Anfal: 2)

Dan yang semestinya terjadi pada diri kita setelah kita membaca ayat-ayat kauniyah adalah sebagaimana firman Allah berikut ini: “Dan mereka mentafakkuri (memikirkan) tentang penciptaan langit dan bumi (lalu berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran: 191)

Selanjutnya, kita juga membaca ayat-ayat Allah agar kita memahami sunnah-sunnah Allah (sunnatullah), baik itu sunnah Allah pada manusia dalam bentuk ketentuan syar’i (taqdir syar’i) maupun sunnah Allah pada ciptaan-Nya dalam bentuk ketentuan penciptaan (taqdir kauni).

Dengan memahami ketentuan syar’i, kita bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan syariat yang ia kehendaki, dan dalam hal ini kita bebas untuk memilih untuk taat atau ingkar. Namun, apapun pilihan kita, taat atau ingkar, memiliki konsekuensinya masing-masing.

Adapun dengan memahami ketentuan penciptaan, baik itu mengenai alam maupun sejarah dan ihwal manusia, kita akan mampu memanfaatkan alam dan sarana-sarana kehidupan untuk kemakmuran bumi dan kesejahteraan umat manusia. Dengan pemahaman yang baik mengenai ketentuan tersebut, kita akan mampu mengelola kehidupan tanpa melakukan perusakan. Wallahu a’lam bish-shawab. ( Menara Islam )


Tag : , ,

Segumpal darah di dalam Rahim

By : zends


     Jika kita sebagai muslim terus mempelajari fakta-fakta yang diberitakan dalam Al Qur'an mengenai pembentukan manusia, maka tak henti - henti kita akan menjumpai keajaiban ilmiah yang sungguh penting.

Ketika sperma dari laki-laki bergabung dengan sel telur wanita, intisari bayi yang akan lahir terbentuk. Sel tunggal yang dikenal sebagai "zigot" dalam ilmu biologi ini akan segera berkembang biak dengan membelah diri hingga akhirnya menjadi "segumpal daging". Tentu saja hal ini hanya dapat dilihat oleh manusia dengan bantuan mikroskop.

Namun, zigot tersebut tidak melewatkan tahap pertumbuhannya begitu saja. Ia melekat pada dinding rahim seperti akar yang kokoh menancap di bumi dengan carangnya. Melalui hubungan semacam ini, zigot mampu mendapatkan zat-zat penting dari tubuh sang ibu bagi pertumbuhannya. (Moore, Keith L., E. Marshall Johnson, T. V. N. Persaud, Gerald C. Goeringer, Abdul-Majeed A. Zindani, and Mustafa A. Ahmed, 1992, Human Development as Described in the Qur'an and Sunnah, Makkah, Commission on Scientific Signs of the Qur'an and Sunnah, s. 36)

Di sini, pada bagian ini, satu keajaiban penting dari Al Qur'an terungkap. Saat merujuk pada zigot yang sedang tumbuh dalam rahim ibu, Allah menggunakan kata "'alaq" dalam Al Qur'an:
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq (segumpal darah). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah." (Al Qur'an, 96:1-3)

Arti kata "'alaq" dalam bahasa Arab adalah "sesuatu yang menempel pada suatu tempat". Kata ini secara harfiah digunakan untuk menggambarkan lintah yang menempel pada tubuh untuk menghisap darah.

Tentunya bukanlah suatu kebetulan bahwa sebuah kata yang demikian tepat digunakan untuk zigot yang sedang tumbuh dalam rahim ibu. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa Al Qur'an merupakan wahyu dari Allah, Tuhan Semesta Alam. ( Menara Islam )


Tag : , ,

Adzan dan Qomat

By : zends


     Kita sebagai muslim, memang disyariatkan untuk mengumandangkan adzan di masjid sebagai pertanda masuknya waktu sholat dan untuk memanggil umat Islam agar datang ke masjid menunaikan sholat fardhu secara berjamaah. Karena itu, waktu adzan yang paling utama yaitu pada saat masuknya waktu sholat.

Adzan hendaknya diucapkan dengan lantang. Tetapi, kalimat adzan tidak boleh diucapkan dengan cara yang berlebihan sehingga mengubah lafal dan maknanya. Sang muadzin hendaknya berwudhu terlebih dahulu, suci dari najis, dan menutup aurat (sebagaimana kalau dia melakukan sholat) serta menghadap ke kiblat. Hendaknya dia berhenti sejenak diantara kalimat-kalimat adzan.

Khusus untuk adzan shubuh, disunnahkan untuk menambahkan kalimat tatswib “Ashsholatu khairun minan naum” dua kali sesudah “hayya ‘alal falaah”. Adzan shubuh bisa dilakukan satu kali dan bisa pula dilakukan dua kali. Untuk yang dua kali, yang pertama dikumandangkan beberapa saat sebelum masuknya waktu shubuh, sedangkan yang kedua dikumandangkan saat masuknya waktu shubuh.

Bagi yang mendengar, hendaknya ia menjawab adzan persis seperti ucapan muadzin, kecuali saat muadzin mengucapkan “hayya ‘alash sholat” dan “hayya ‘alal falaah” maka jawabannya adalah “laa haula wa laa quwwata illa billah”. Demikian pula saat muadzin mengucapkan tatswib maka jawabannya adalah “shadaqta wa bararta”. Setelah adzan usai, hendaknya berdoa dengan doa yang telah diajarkan oleh Nabi saw. Setiap muslim yang mendengar adzan hendaknya segera bergegas menuju ke masjid dan meninggalkan aktivitasnya untuk melaksanakan sholat secara berjamaah. Segera memenuhi panggilan adzan adalah sebuah keutamaan. Meskipun demikian, sewaktu berangkat ke masjid hendaknya seseorang berjalan dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.

Adapun qomat, kita disyariatkan mengucapkannya setiap kali sebelum melakukan sholat fardhu secara berjamaah. Iqamat hendaknya dipercepat, tetapi tidak boleh tergesa-gesa dan harus menjaga pelafalan kalimat-kalimatnya. Seperti halnya adzan, bagi yang mendengar iqamat disunnahkan untuk menjawabnya persis seperti ihwal adzan, kecuali setelah kalimat “qad qaamatish sholat” maka jawabannya adalah “aqaamahallahu wa adaamahaa”. ( Menara Islam )


Tag : , ,

Kecintaan Abu Bakar R.A kepada Rasulullah SAW

By : Unknown


     Umar bin Khaththab r.a. berkata: ”Demi Allah, satu malam dari Abu Bakar lebih utama daripada keluarga Umar. Sungguh Rasulullah pergi menuju gua Tsur disertai Abu Bakar. Abu Bakar terkadang berjalan di depan beliau, terkadang di belakang beliau".  

Tentu hal itu membuat Rasulullah penasaran, beliau pun berkata, ”Wahai Abu Bakar! Kenapa engkau terkadang berjalan di depanku dan terkadang di belakangku?” Abu Bakar berkata,”Jika aku ingat orang-orang yang mengejarmu, maka aku berjalan di belakangmu, dan jika aku ingat orang-orang yang mengintaimu, maka aku berjalan di depanmu”.  
Rasulullah saw bersabda, ”Wahai Abu Bakar, jika terjadi sesuatu, apakah engkau suka hal itu menimpamu dan tidak menimpaku?”.  
Abu Bakar menjawab, ”Benar, demi Allah yang telah mengutusmu dengan hak, jika ada suatu perkara yang menyakitkan, maka aku lebih suka hal itu menimpaku dan tidak menimpamu”.  

Ketika keduanya telah sampai di gua Tsur, Abu Bakar berkata: ”Tunggu sebentar di tempatmu wahai Rasulullah!, hingga aku membersihkan gua untukmu”.  Kemudian Abu Bakar pun masuk gua dan ia membersihkan (dari segala hal yang akan mengganggu). Ketika ia ada di atas gua, ia ingat belum membersihkan sebuah lubang itu. Kemudian berkata, ”Silahkan turun wahai Rasulullah saw”, maka Rasul pun turun. Umar berkata, ”Demi Allah, sungguh malam itu lebih utama daripada keluarga Umar” (HR Al Hakim dalam Al Mustadrak). ( Suara Islam )


Tag : , ,

Copyright © Resqyy | All Right Reserved